Ia mungkin telah jadi ikon: sepotong jalan utama dan sebuah universitas negeri telah menggunakan namanya. Raut lelaki tirus itu pernah tertera pada sehelai uang kertas.
Di
Jakarta, tubuhnya yang ringkih diabadikan dalam bentuk patung setinggi 6,5
meter di atas penyangga 5,5 meter. Menghadap utara, dibalut jas yang kedodoran,
ia memberi hormat–entah kepada siapa.
Barangkali,
hanya sedikit cerita yang kita ingat dari Soedirman–sejumput kenangan dari buku
sejarah sekolah menengah. Ia panglima tentara yang pertama, orang yang keras
hati. Ia pernah bergerilya dalam gering yang akut–tuberkulosis menggerogoti
paru-parunya.
Sejak
ia remaja, orang segan kepadanya: karena alim, dia dijuluki kaji. Ia aktif dalam
gerakan Hizbul Wathan–kepanduan di bawah payung Muhammadiyah.
Dipilih
melalui pemungutan suara sebagai Panglima Besar Tentara Keamanan
Rakyat/Angkatan Perang Republik Indonesia pada 12 November 1945, Soedirman
figur yang sulit dilewatkan begitu saja. Ia mungkin sudah ditakdirkan memimpin
tentara.
Dengan
banyak pengalaman, tak sulit baginya terpilih sebagai panglima dalam tiga tahap
pengumpulan suara. Dia menyisihkan calon-calon lain, termasuk Oerip
Soemohardjo–kandidat lain yang mengenyam pendidikan militer Belanda.
Asal-usul Keluarga Jenderal Soedirman
Soedirman
lahir pada Senin Pon, 18 Maulud 1846 dalam almanak Jawa atau 24 Januari 1916 di
Dukuh Rembang, Desa Bantar Barang, Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga,
Jawa Tengah, sekitar 30 kilometer dari pusat Kota Purbalingga. Ia lahir dari
rahim Siyem, wanita asal Purwokerto, istri Karsid Kartoworidji, seorang pekerja
pabrik gula. Soedirman diurus dan tinggal di rumah asisten wedana di Rembang,
Raden Tjokrosoenarjo dan istri Toeridowati. Bayi laki-laki itu diberi nama
Soedirman.
Nama
itu diberikan ayah angkatnya, Raden Tjokrosoenarjo, asisten wedana di Rembang,
Purbalingga. Sejak lahir, ia memang langsung diurus dan tinggal di rumah
pasangan Tjokrosoenarjo dan Toeridowati. Data Pusat Sejarah Tentara Nasional Indonesia menyebutkan, istri Tjokrosoenarjo adalah kakak kandung
ibunda Soedirman. Sejak Soedirman masih di dalam kandungan, Tjokrosoenarjo
sudah meminta izin Siyem agar kelak bisa merawat kemenakannya itu.
Setelah
Soedirman berusia delapan bulan, Tjokrosoenarjo pensiun dari jabatannya.
Berbekal duit pensiun 62,35 gulden, ia memboyong keluarganya, termasuk
Soedirman dan orang tuanya, pindah ke sebuah rumah sederhana di Kampung
Kemanggisan, Kelurahan Tambakreja, sebelah selatan pusat Kota Cilacap, Jawa
Tengah. “Jadi, Bapak cuma numpang lahir di Purbalingga, lalu kehidupannya
berlanjut di Cilacap,” kata Mohamad Teguh Bambang Tjahjadi, anak bungsu
Soedirman, saat ditemui Tempo awal Oktober lalu.
Teguh
bercerita, selama ini banyak buku dan literatur digital di dunia maya menulis
ngawur soal asal-usul keluarganya. Dari sekian banyak buku tentang ayahnya,
Teguh hanya percaya pada buku berjudul Doorstoot naar Djokja: Pertikaian
Pemimpin Sipil-Militer karya wartawan senior Julius Pour terbitan 2005.
“Walau
bukan buku biografi Bapak, ceritanya cocok semua dengan cerita Ibu,” ujar
bungsu dari sembilan putra-putri pasangan Soedirman dan Siti Alfiah itu.
Soal
asal-usul keluarga sang Panglima Besar, Teguh mengatakan, berdasarkan
pernyataan keluarga, Soedirman merupakan anak kandung Tjokrosoenarjo, Asisten
Wedana Rembang, bukan anak angkat seperti yang selama ini tertulis di berbagai
buku sejarah. “Belum ada satu pun buku yang menulis soal ini (versi keluarga),”
katanya.
Tjokrosoenarjo
wafat saat Soedirman masih menempuh sekolah guru di Cilacap pada sekitar 1936.
Ia mewariskan seluruh hartanya kepada anak tunggalnya itu.
Siti
Alfiah, istri Soedirman, beberapa kali berusaha meluruskan soal data sejarah
ini, tapi selalu kandas. Janda Soedirman itu pernah berupaya meluruskannya pada
1960-1970-an. Namun, pihak Pusat Sejarah ABRI kala itu malah mengesahkan secara
resmi sejarah orang tua Soedirman yang masih kontroversial tersebut lewat
pengadilan. “Tapi aneh karena tak ada satu pun anggota keluarga yang diundang,”
ujar Teguh.
Bagi
Teguh, ibundanya adalah satu-satunya orang yang tahu persis soal riwayat sang Jenderal Besar. Sebab, semua dokumen yang berkaitan dengan Soedirman
telah dilenyapkan demi kepentingan keamanan sebelum ia berangkat bergerilya.
Menurut
Teguh, sejarawan Anhar Gonggong pernah memberinya saran agar ia menuliskan
semua riwayat Soedirman dari sudut pandang dan pengakuan keluarga. Namun,
hingga kini dia belum pernah mencoba melaksanakan saran Anhar itu.
“Yang
jelas, Bapak itu pahlawan nasional. Jasanya banyak, perlu jadi teladan bangsa
ini. Itu saja cukup,” ucap Teguh.
Cacat Kaki, Soedirman Sempat Pesimis Jadi Tentara
Kebesaran
nama Panglima Jenderal TNI Soedirman bisa dilihat dari kisahnya yang terungkap
di buku-buku sejarah. Namun sebenarnya di balik perjuangannya dengan bertandu,
Seodirman sempat ketakutan menjadi tentara karena kondisi kakinya.
Ditinggal
Soedirman dalam usia satu tahun, Muhammad Teguh Bambang Cahyadi mendengar
cerita tentang ayahnya itu dari sang ibu, Siti Alfiah. Termasuk kisah tentang
Soedirman ketika mengawali karier militernya. Menurut Teguh, ayahnya sempat
ragu masuk dunia militer. “Saya cacat, tak layak masuk tentara,” kata
Soedirman, seperti yang didengar Teguh dari ibunya.
Bukan
tanpa alasan jika Soedirman tak percaya diri menjadi tentara. Kakinya pernah
terkilir pada saat main sepak bola. Hal itu membuat sambungan tulang lutut
kirinya bergeser. Siti Alfiah juga menyatakan sangat mengkhawatirkan kondisi
suaminya.
Dalam
buku Perjalanan Bersahaja Jenderal Sudirman, Soekanto menuliskan
dialog pasangan suami-istri ini pada saat Soedirman ingin menjadi tentara.
Menjelang tengah malam satu hari pada 1944, Soedirman menyampaikan rencana
bergabung dengan pasukan Pembela Tanah Air (Peta). “Jadi, Mas mau jadi
tentara?” kata Siti Alfiah. Soedirman mengangguk, seolah meminta pengertian
dari sang istri.
Tak
langsung mengiyakan, Siti mencecar Soedirman. Dia menanyakan soal mata kiri
Soedirman yang kurang terang. “Lalu, kaki Mas yang terkilir sewaktu main bola
itu….”
“Tidak
apa-apa, Bu, semua pengalaman ada gunanya,” katanya. “Saya harap Ibu berhati
mantap.” Soedirman lalu pergi mengambil wudhu dan berjalan ke kamar untuk salat
tahajud.
Pilihan
menjadi prajurit diambil setelah sekolah Muhammadiyah, tempat Soedirman
mengajar, ditutup tentara Jepang. Sekolah itu dianggap bentukan kolonial
Belanda. Achmad Dimyati, rekan sesama guru, menyampaikan ketertarikan penguasa
militer Kabupaten Cilacap merekrut Soedirman. “Mungkin Dik Dirman akan diangkat
menjadi sangikai Karesidenan Banyumas, semacam perwakilan rakyat,”
kata Dimyati.
Dimyati
berusaha meyakinkan bahwa Soedirman bisa menjadi penghubung antara tentara
Jepang dan penduduk Karesidenan Banyumas. Dia berpendapat Jepang lebih baik
daripada Belanda.
Nyatanya,
Soedirman tak langsung tertarik. Dia menilai Belanda dan Jepang sama-sama orang
asing yang menjajah. Jepang dinilainya memerlukan tenaga pribumi hanya karena
beberapa jabatan penting kosong ditinggal orang-orang Belanda.
Toh,
Soedirman diterima di kesatuan militer. Ia mendapat jabatan sangikai,
yang bertugas mendampingi tentara Jepang mengambil hati penduduk agar mau
menyerahkan padi. Namun, dengan bahasa Jawa, Soedirman meminta rakyat agar
mendahulukan kebutuhan mereka sebelum menyetorkan padi ke tentara Jepang.
Usia 26, Soedirman Tumpas Pemberontakan Pertama
Soedirman
mendapatkan pendidikan militer pertamanya dari Jepang. Ia direkrut pemerintah
negeri matahari terbit itu pada usia 25 tahun. Setahun menempa pendidikan
kemiliteran, Soedirman pun mendapatkan tugas besar pertamanya.
Pada 3
Oktober 1943, pemerintah Jepang mengeluarkan Osamu Seirei Nomor 44 Tahun 2603
(1944) tentang Pembentukan Pasukan Sukarela untuk Membela Tanah Jawa. Penguasa
Karesidenan Banyumas mengusulkan Soedirman ikut bergabung. Nugroho Notosusanto
dalam buku Tentara PETA pada Jaman Pendudukan Jepang di Indonesia,
mengatakan hampir semua daidancho dan chudancho dibujuk
secara pribadi oleh Beppan.
Daidancho kebanyakan direkrut dari tokoh masyarakat, seperti guru,
tokoh agama Islam, dan pegawai pemerintah. “Karena itu, umurnya tak muda lagi,”
kata Nina Lubis, penulis buku PETA Cikal Bakal TNI. Daidancho
adalah jabatan setingkat komandan batalion.
Soedirman
kemudian masuk Peta angkatan kedua sebagai calon daidancho. Muhammad
Teguh mengenang cerita ibunya bahwa tentara Jepang sebenarnya tidak suka dengan
masuknya Soedirman. Sebab, ketika menjadi anggota Badan Pengurus Makanan
Rakyat, ia sering menentang instruksi tentara Jepang. “Namun, saat itu Jepang
berkepentingan membentuk pasukan bersenjata untuk menghadapi serangan tentara
Sekutu,” katanya.
Sebelum
membentuk Peta, Jepang telah mengeluarkan peraturan tentang pembentukan pasukan
pribumi Heiho pada 22 April 1943. Pasukan Heiho terutama bertugas di satuan
artileri pertahanan udara, tank, artileri medan, mortir parit, dan sebagai
pengemudi angkutan perang. Namun, Heiho ternyata tak memuaskan Jepang, yang
ingin pasukan sepenuhnya terdiri dari orang pribumi, terpisah dari tentara
Jepang.
Pemuda
Heiho hanya menjadi pembantu prajurit Jepang. Tak satu pun di antara mereka menjadi
perwira. Tangerang Seinen Dojo (pusat latihan pemuda Tangerang), yang mulai
berlatih sejak Januari 1943, malah dianggap lebih berhasil.
Pemisahan
tentara pribumi dengan tentara Jepang kemudian dilaksanakan di Kalimantan,
Sumatera, dan Jawa dengan nama Giyu-gun. Pengerahan rakyat pribumi untuk masuk
tentara sukarela akhirnya terlaksana dengan pembentukan Peta.
Untuk
menjadi calon perwira tentara Peta, Jepang mensyaratkan bakat kepemimpinan,
jiwa dan fisik sehat, serta stabilitas mental. Seleksi dilakukan di ibu kota
kabupaten (ken) atau kota madya (shi), yang kemudian dilanjutkan di ibu kota
karesidenan (shu) untuk pemeriksaan kesehatan.
Seleksi dilakukan pada
awal bulan Oktober 1943 dan hasilnya diumumkan dua minggu kemudian.
Angkatan
kedua pendidikan Peta dimulai pada April 1944. Pendidikan untuk daidancho,
kata Nina dalam bukunya, hanya dua bulan. Sedangkan untuk chudancho
dan shudancho latihannya 3-4 bulan. Mereka berlatih di kompleks
militer eks Belanda, 700 meter dari istana presiden di Bogor. Pusat latihan itu
diberi nama Jawa Bo-ei Giyugyun Kanbu Renseitai, dibuka resmi pada 15 Oktober
1943.
Angkatan
kedua pendidikan perwira Peta dilantik pada 10 Agustus 1944. Mereka diberi
samurai dan disebar ke 55 daidan di daerah pantai selatan Jawa. Sebagai
daidancho, Soedirman ditempatkan di Kroya, Jawa Tengah, didampingi shoko
shidokan, perwira Jepang yang bertugas sebagai pengawas dan penasihat
teknis kemiliteran, Letnan Fujita.
Setelah
diangkat menjadi daidancho pada usia 26 tahun, Soedirman pulang ke rumah
dan menceritakan kepada Alfiah ihwal penempatannya di Kroya. “Saya menjadi
daidancho di sini (Cilacap),” kata Soedirman. Ujian pertama Soedirman
dilalui pada 21 April 1945, saat pasukan Peta di bawah komando bundancho
Kusaeri memberontak di Desa Gumilir, Cilacap.
Peristiwa
itu berlangsung lima hari setelah vonis tentara Jepang terhadap pemberontakan
Peta Blitar. Soedirman diperintahkan memadamkan pemberontakan Gumilir.
Dalam
buku Perjalanan Bersahaja Jenderal Sudirman, daidancho itu
sebenarnya tahu gerakan Kusaeri. Sebab, beberapa hari sebelum bergerak, Kusaeri
menemuinya di Cilacap. Soedirman meminta koleganya itu menunda gerakan. Kata
dia, “Kita harus bergerak pada waktu yang tepat.”
Soedirman dan Keris Penolak Mortir
Desing
pesawat membangunkan Desa Bajulan yang senyap, suatu hari di awal Januari 1949.
Penduduk kampung di Nganjuk, Jawa Tengah, yang tengah berada di sawah, halaman,
dan jalanan, itu panik masuk ke rumah atau bersembunyi ke sebalik pohonan.Warga Nganjuk tahu itu pesawat Belanda yang sedang mencari para
gerilyawan dan bisa tiba-tiba memuntahkan bom atau peluru. Tak kecuali Jirah.
Perempuan 16 tahun itu gemetar di dapur seraya membayangkan gubuknya dihujani peluru.Di rumahnya ada sembilan laki-laki asing tamu ayah angkatnya,
Pak Kedah, yang ia layani makan dan minum. Meski tak paham siapa orang-orang
ini, Jirah menduga mereka yang sedang dicari tentara Belanda. Sewaktu pesawat
mendekat, dia melihat seorang yang memakai beskap duduk di depan pintu
dikelilingi delapan lainnya. “Saya mengintip dan menguping apa yang akan
terjadi dari dapur,” kata Jirah, September lalu.
Lelaki
pemakai beskap yang oleh semua orang dipanggil ”Kiaine” atau Pak Kiai itu
mengeluarkan keris dari pinggangnya. Keris itu ia taruh di depannya. Tangannya
merapat dan mulutnya komat-kamit merapal doa. Ajaib. Keris itu berdiri dengan
ujung lancipnya menghadap ke langit-langit. Kian dekat suara pesawat, kian
nyaring doa mereka.
Keris
itu perlahan miring, lalu jatuh ketika bunyi pesawat menjauh. Kiaine
menyarungkan keris itu lagi dan para pendoa meminta undur diri dari ruang tamu.
Kepada Jirah, seorang pengawal Kiaine bercerita bahwa keris dan doa itu telah
menyamarkan rumah dan kampung tersebut dari penglihatan tentara Belanda.
Dari
curi-dengar obrolan para tamu dengan ayahnya itu, Jirah samar-samar tahu, orang
yang memakai beskap bertubuh tinggi, kurus, dan pendiam dengan napas tercekat
yang dipanggil Kiaine tersebut adalah Jenderal Soedirman. “Saya mendapat
kepastian itu Pak Dirman justru setelah beliau meninggalkan desa ini,” ujarnya.
Waktu
itu Panglima Tentara Indonesia ini sedang bergerilya melawan Belanda, yang
secara resmi menginvasi kembali Indonesia untuk kedua kalinya tiga tahun
setelah Proklamasi. Jirah ingat, rombongan itu–yang berjumlah 77 orang–datang
ke Bajulan pada Jumat Kliwon Januari 1949. Di rumahnya, Soedirman ditemani
delapan orang, antara lain Dr Moestopo, Tjokropranolo, dan Soepardjo Roestam.
Yang lain menginap di rumah tetangga.
Selama
lima hari di Bajulan, tak sekali pun Belanda menjatuhkan bom atau menembaki
penduduk. “Itu berkat keris dan doa-doa,” kata Jirah. Soedirman seolah-olah
tahu tiap kali Belanda akan datang mencarinya. Karena itu, operasi Belanda
mencari buron nomor wahid tersebut selalu gagal.
Soedirman Ternyata Hanya Bernapas dengan Satu Paru
Sejak
remaja, Soedirman doyan merokok. Bahkan, ia masuk dalam golongan perokok berat.
Rokok Soedirman kretek tak bermerek. Disebutnya tingwe alias nglinthing
dewe, yang artinya ”meramu sendiri”. Kebiasaan mengisap tembakau
membuat Soedirman mengalami gangguan pernapasan. Kondisi kesehatannya pun
semakin menurun sejak pemberontakan Partai Komunis Indonesia di Madiun, Jawa
Timur.
Diceritakan
bila Letnan Jenderal Soedirman berjalan tertatih-tatih memasuki rumah dinasnya
di Jalan Bintaran Wetan, Yogyakarta. Di depan pintu, sang istri, Siti Alfiah,
menyambutnya.
“Bapak
pulang setelah dua pekan memimpin operasi penumpasan pemberontakan PKI,” kata
Muhammad Teguh Bambang Tjahjadi, putra bungsu Soedirman, yang mendapat cerita
itu dari ibunya.
Pada
akhir September 1948, Soedirman mengeluh ke Alfiah bila dia tak bisa tidur
selama di Madiun. Soedirman begitu terpukul menyaksikan pertumpahan darah di
antara rakyat Indonesia itu. Peristiwa Madiun membuat batin Panglima Besar
Angkatan Perang Republik Indonesia ini nelangsa. “Selain kelelahan berat, Bapak
tertekan batinnya karena peristiwa itu,” ujar Teguh.
Malam
itu, kondisi kesehatan Soedirman turun. Namun, ia tetap mandi dengan air
dingin. Saran sang istri agar mandi air hangat tak ia indahkan. “Inilah awal
petaka bagi Bapak,” kata Teguh. “Esoknya, Bapak terkapar di tempat tidur.”
Kendati
sakit, kegemarannya merokok tetap tak bisa ia hilangkan. Sesekali, sembari
terbaring, Soedirman mengisap rokok kretek. Melihat itu, istrinya hanya diam,
tak berani melarang.
Karena
bandel, Soedirman tidak juga pulih. Bahkan, tim dokter tentara mendiagnosis ia
menderita tuberkulosis, infeksi paru-paru. Tak percaya akan hasilnya, keluarga
meminta pemeriksaan ulang oleh dua dokter tentara senior, Asikin Wijayakusuma
serta Sim Ki Ay. Dan jawabannya sama dengan observasi pertama. Soedirman pun
dibawa ke Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta.
Menurut
Soegiri, bekas ajudan Soedirman, obat yang dibutuhkan atasannya hanya ada di
Jakarta. Untuk sampai Yogyakarta, obat itu harus diboyong melalui jalur
penyelundupan. Di lain pihak, Soedirman butuh penanganan cepat.
“Akhirnya
tim dokter memutuskan operasi penyelamatan dengan membuat satu paru-parunya tak
berfungsi,” kata Soegiri.
Pasca-operasi,
menurut Soegiri, tim dokter berbohong kepada Soedirman. Mereka mengatakan
operasi itu cuma mengangkat satu organ kecil di paru-paru yang menghambat
saluran pernapasan. Sedangkan kata Teguh, dokter memberitahukan ibunya perihal
operasi itu. “Sejak itu, Bapak bernapas dengan separuh paru-paru,” katanya.
Soedirman Jual Perhiasan Istri Demi Ransum Tentara
Usai
menjalani operasi paru-paru pada November 1948, Soedirman hidup dengan sebelah
paru. Ia pun harus mengonsumsi banyak obat. Seperti codeine untuk
mengobati gangguan pernapasan dan kinine bagi penyakit malarianya.
Kata
pesuruh Soedirman, Jamaluddin, bentuk obat-obatan itu kecil, serupa kedelai.
Warnanya ada yang biru untuk pencegahan malaria dan merah bila sakitnya parah.
“Semua itu Pak Dirman minum dengan air teh tiyung atau teh merek Sruni,” ujar
Jamaluddin.
Meski
sakit, sang Jenderal tidak sulit makan. Bahkan, ia tak pernah memilih-milih
menu. Semua makanan yang disediakan dapur umum dia santap. Pilihan makanannya
pun tidak beda dengan dengan jatah seluruh prajurit. Apalagi waktu itu masa
gerilya, semua serba seadanya. Kadang nasi berteman rebusan daun lembayung,
kadang-kadang tempe. “Dikasih apa saja Pak Dirman mau,” ujar Jamal.
Ransum
untuk Soedirman diantar dalam rantang. Satu rantang untuk sekali makan, diantar
sampai pintu kamar, setiap pagi, siang, dan sore. Tapi sering kali, dari tiga
rantang yang dikirim, hanya satu yang habis. “Pak Dirman kerap berpuasa. Karena
itu, hanya habis satu rantang. Sisanya dimakan ramai-ramai oleh teman-teman,”
kata Jamal.
Sumber
makanan tidak hanya dari dapur umum. Penduduk sekitar tempat persembunyian juga
sering mengirimkan ransum. Menunya kadang tiwul dan ketela. Jarang sekali
mereka mendapatkan nasi. “Ya, seadanya makanan kampung,” ujar Jamal.
Kala
itu, tak jarang juga mereka kekurangan makanan. Untuk menutupinya, Soedirman
mengirim sang adik ipar, Hanung Faeni, kembali ke Yogyakarta. Ditemani sopir
pribadi Soedirman, Hainun Suhada, Hanung berjalan kaki untuk menyampaikan pesan
sang Jenderal ke istrinya, Siti Alfiah.
Dalam
amanat itu, Soedirman meminta perhiasan Alfiah untuk membiayai perang. Kata
anak bungsu Soedirman, Teguh Bambang Tjahjadi, ayahnya sudah berpesan bila ia
akan meminta perhiasan itu jika dibutuhkan. “Perhiasan dibarter ayam dan
beras,” kata Teguh.
Kisah Seorang Perokok Berat
Soedirman
adalah seorang perokok kelas berat. Ia merokok sejak remaja. Rokok kreteknya
tak bermerek, tingwe alias nglinthing deweartinya meramu
sendiri. Sepulang bergerilya, kondisi kesehatan Soedirman memburuk. Ia masuk
Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta.Mohamad Teguh Bambang Tjahjadi, 63 tahun,
putra bungsu Soedirman, ingat cerita ibunya, Siti Alfiah, bagaimana saat sakit
bapaknya tetap ingin merokok.”Bapak dipaksa berhenti merokok oleh dokter.
Karena perokok berat, Bapak tak bisa benar-benar meninggalkan rokok. Bapak
meminta Ibu merokok dan meniupkan asap ke mukanya.”
Menurut
Teguh, belakangan ibunya menjadi perokok. “Barangkali terdengar konyol, tapi
Ibu berprinsip menaati perintah Bapak,” katanya.
Pada
Ahad pagi, 29 Januari 1950, setelah lama terkulai lemas sejak Oktober di rumah
peristirahatan tentara di Magelang, mendadak wajah Soedirman tampak cerah. Pagi
itu, Ahmad Yani, Gatot Soebroto, serta beberapa petinggi militer dan sipil
hadir. Tidak diketahui apa yang dibicarakan.
“Waktu
itu, menurut Ibu, tiba-tiba terdengar suara kaleng dan botol pecah mendadak.
Bersamaan dengan itu, bendera di halaman melorot setengah tiang. Sampai Ibu
bilang ke beberapa pengawal, ’Ah, itu hanya angin’.”
Setelah
salat magrib, sebagaimana didengar dari Alfiah, Soedirman memanggil istrinya ke
kamar. Di dalam, dia berkata, “Bu, aku sudah tidak kuat. Titip anak-anak.
Tolong aku dibimbing tahlil.” Alfiah menuntunnya mengucap Laa Ilaha Illallah,
dan Soedirman mengembuskan napas terakhir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar